Rabi‘ah binti Ismail al-Adawiyah, berasal dari
keluarga miskin. Dari kecil ia tinggal di Bashrah. Di kota ini namanya sangat
harum sebagai seorang manusia
suci dan seorang pengkhotbah. Dia
sangat dihormati oleh orang-orang saleh semasanya. Mengenai kematiannya
ada berbagai pendapat: tahun 135 H/752 M atau tahun 185 H/801 M.
Rabi’ah
al-Adawiyah yang seumur hidupnya tidak pernah menikah, dianggap mempunyai saham
yang besar dalam memperkenalkan cinta Allah ke dalam Islam tashawuf.
Orang-orang mengatakan bahwa ia dikuburkan di dekat kota Yerussalem.
Rabi’ah, Lahir Dan Masa Kanak—Kanaknya
Jika
seseorang bertanya: ”Mengapa engkau mensejajarkan Rabi’ah dengan kaum lelaki?”,
maka jawabanku adalah bahwa Nabi sendiri pernah berkata: “Sesungguhnya
Allah tidak memandang rupa kamu” dan yang menjadi masalah bukanlah bentuk,
tetapi niat seperti yang dikatakan Nabi, “Manusia-manusia akan dimuliakan
sesuai dengan niat di dalam hati mereka”. Selanjutnya,
apabila kita boleh menerima dua pertiga ajaran agama dari ’Aisyah, maka sudah
tentu kita boleh pula menerima petunjuk-petunjuk agama dari pelayanan
pribadinya itu. Apabila seorang perempuan berubah menjadi
”seorang lelaki” pada jalan Allah, maka ia adaIah sejajar dengan kaum lelaki
dan kita tidak dapat menyebutnya sebagai seorang perempuan lagi.
Pada malam Rabi’ah dilahirkan ke atas dunia, tidak ada sesuatu barang berharga yang dapat: ditemukan di dalam rumah orang tuanya, karena ayahnya adalah seorang yang sangat miskin. Si ayah bahkan tidak mempunyai minyak barang setetes pun untuk pemoles pusar puterinya itu. Mereka tidak mempunyai lampu dan tidak mempunyai kain untuk menyelimuti Rabi’ah. Si ayah telah memperoleh tiga orang puteri dan Rabi’ah adalah puterinya yang keempat. Itulah sebabnya mengapa ia dinamakan Rabi’ah (artinya ke-empat).
Pada malam Rabi’ah dilahirkan ke atas dunia, tidak ada sesuatu barang berharga yang dapat: ditemukan di dalam rumah orang tuanya, karena ayahnya adalah seorang yang sangat miskin. Si ayah bahkan tidak mempunyai minyak barang setetes pun untuk pemoles pusar puterinya itu. Mereka tidak mempunyai lampu dan tidak mempunyai kain untuk menyelimuti Rabi’ah. Si ayah telah memperoleh tiga orang puteri dan Rabi’ah adalah puterinya yang keempat. Itulah sebabnya mengapa ia dinamakan Rabi’ah (artinya ke-empat).
“Pergilan
kepada tetangga kita si anu dan mintalah sedikit minyak sehingga aku dapat
menyalakan lampu” isterinya berkata kepadanya.
Tetapi
si suami telah bersumpah bahwa ia tidak akan meminta sesuatu jua pun dari
manusia lain. Maka pergilah ia, pura-pura menyentuhkan tangannya ke pintu rumah
tetangga tersebut lalu kembali Iagi ke rumahnya.
“Mereka
tidak mau membukakan pintu” ia melaporkannya kepada isterinya sesampainya di
rumah.
Isterinya yang malang menangis sedih. Dalam keadaan yang serba memprihatinkan itu si suami hanya dapat menekurkan kepala ke atas lutut dan terlena. Di dalam tidurnya ia bermimpi melihat Nabi. Nabi membujuknya: “JanganIah engkau bersedih, karena bayi perempuan yang baru dilahirkan itu adalah ratu kaum wanita dan akan menjadi penengah bagi 70 ribu orang di antara kaumku”.
Kemudian Nabi meneruskan; “Besok, pergilah engkau menghadap ‘Isa az-Zadan, Gubernur Bashrah. Di atas sehelai kertas, tuliskan kata-kata berikut ini: ’Setiap malam engkau mengirimkan shalawat seratus kali kepadaku, dan setiap malam jum’at empat ratus kali. Kemarin adalah malam jum’at tetapi engkau lupa melakukannya. Sebagai penebus kelalaianmu itu berikanlah kepada orang ini empat ratus dinar yang telah engkau peroleh secara halal’ “.
Ketika terjaga dari tidurnya, ayah Rabi’ah mengucurkan air mata. Ia pun bangkit dan menulis seperti yang telah dipesankan Nabi kepadanya dan mengirimkannya kepada gubernur melalui pengurus rumahtangga istana.
Isterinya yang malang menangis sedih. Dalam keadaan yang serba memprihatinkan itu si suami hanya dapat menekurkan kepala ke atas lutut dan terlena. Di dalam tidurnya ia bermimpi melihat Nabi. Nabi membujuknya: “JanganIah engkau bersedih, karena bayi perempuan yang baru dilahirkan itu adalah ratu kaum wanita dan akan menjadi penengah bagi 70 ribu orang di antara kaumku”.
Kemudian Nabi meneruskan; “Besok, pergilah engkau menghadap ‘Isa az-Zadan, Gubernur Bashrah. Di atas sehelai kertas, tuliskan kata-kata berikut ini: ’Setiap malam engkau mengirimkan shalawat seratus kali kepadaku, dan setiap malam jum’at empat ratus kali. Kemarin adalah malam jum’at tetapi engkau lupa melakukannya. Sebagai penebus kelalaianmu itu berikanlah kepada orang ini empat ratus dinar yang telah engkau peroleh secara halal’ “.
Ketika terjaga dari tidurnya, ayah Rabi’ah mengucurkan air mata. Ia pun bangkit dan menulis seperti yang telah dipesankan Nabi kepadanya dan mengirimkannya kepada gubernur melalui pengurus rumahtangga istana.
“Berikanlah
dua ribu dinar kepada orang-orang miskin”, gubernur memberikan perintah setelah
membaca surat tersebut, ”sebagai tanda syukur karena Nabi masih ingat kepadaku.
Kemudian berikan empat ratus dinar kepada si syaikh dan katakan kepadanya: ’Aku
harap engkau datang kepadaku sehingga aku dapat melihat wajahmu. Namun tidaklah
pantas bagi seorang seperti kamu untuk datang menghadapku. Lebih baik
seandainya akulah yang datang dan menyeka pintu rumahmu dengan janggutku ini.
Walaupun demikian, demi Allah, aku bermohon kepadamu, apa pun yang engkau
butuhkan katakanlah kepadaku’ “. Ayah Rabi’ah menerima uang emas tersebut dan
membeli sesuatu yang dirasa perlu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar