Senin, 22 Juni 2015

CINTA DALAM DIAM (sebuah novel dari http://bettynovel.blogspot.com)

CINTA DALAM DIAM (sebuah novel dari http://bettynovel.blogspot.com) 


BAB I 
Kakekku, seorang ulama terkemuka, memberiku nama Taufiqurrohman. Dan pemberian nama itu terasa istimewa karena hanya akulah satu-satunya cucu yang diberi nama langsung oleh beliau. Pada masa yang akan datang, ternyata akulah juga satu-satunya cucu yang beliau nikahkan. Tapi itu adalah cerita yang ku simpan untuk bab lain dan bukan di bab ini. Namaku tidak praktis. Artinya setiap orang akan selalu kesulitan untuk mengejanya. Dan mereka akan selalu menyuruhku mengulangnya setiap kali aku memperkenalkan diri. Masalah ini lumayan mengganggu. Aku hampir selalu enggan menyebut namaku sendiri. Kalau tidak percaya coba ucapkan namaku pada sepuluh orang dalam kecepatan normal dan suruh mereka menuliskannya. Catat berapa orang yang memintamu untuk mengulangnya lagi. Ketika dewasa ku putuskan untuk memperkenalkan diri sebagai Taufiq Rohman saja. Gampang diucap dan dieja. Paling-paling kesalahan hanya akan terjadi pada ejaan huruf Q yang kadang-kadang diganti huruf K. Masa kecilku terlewati dengan beberapa cinta monyet. Ku hitung dalam ingatanku mungkin ada lima anak perempuan yang menyukaiku atau ku pikir mereka menyukaiku. Aku bisa saja menyebutkan nama mereka satu persatu namun ku rasa ini tidak terlalu penting. Yang penting kamu tahu ada lima gadis yang tertarik padaku. Semua cinta monyet ini terjadi saat aku masih duduk di bangku SD. Gadis pertama adalah adik kelasku. Dia dengan terang-terangan memberiku surat cinta yang dikirim lewat temannya. Dia juga entah bagaimana berhasil mendapatkan fotoku, yang menurut tebakanku diperoleh dari menyogok seorang saudaraku. Gadis kedua adalah teman sekelasku. Yang beberapa kali, setiap aku tidak sengaja menoleh ke arahnya, ku pergoki dia sedang memandangku. Teman-temanku tahu itu dan mulai mengolok-olok kami sehingga hubungan kami jadi terasa canggung. Gadis ketiga juga teman sekelasku. Aku dan dia entah kenapa selalu dijodoh-jodohkan oleh teman-temanku yang lain. Tebakanku karena dia yang menyuruh mereka. Gadis keempat adalah anak seorang pembuat roti. Berdasarkan cerita adikku, dia sempat melihatku sekali saat beli roti di rumahnya dan sejak saat itu dia jatuh cinta padaku. Adikku yang lebih sering membeli roti disana, ternyata memanfaatkan keadaan ini untuk memanipulasinya. Adikku tak jarang minta tambahan roti dengan janji akan menyampaikan salam cintanya padaku. Gadis kelima adalah saudari jauhku, yang sebenarnya aku tak tahu kalau dia mencintaiku hingga aku telah dewasa dan dia sudah menikah dengan orang lain. Aku mendapatkan fakta ini pada detik-detik sebelum pernikahannya. Seseorang memberitahuku bahwa dulu, dia sempat mengajak beberapa temannya untuk berdoa bersama-sama, agar ketika besar nanti dia bisa menjadi istriku. Aku hanya tertawa mendengarnya. Bukan sok jual mahal, tapi dari kelima gadis di atas tak ada yang sanggup merebut hatiku. Karena aku sudah ditakdirkan untuk jatuh cinta pada satu orang saja. Namanya Karomah Betty Insana Cinta pertama, dan terlebih lagi cinta dalam pandangan pertama. Kami bertemu saat aku berkunjung ke rumah sepupuku. Tak ada satu gadis pun yang sanggup menghentak jantungku sebagaimana dia menghentaknya. Tidak juga kelima gadis di atas. Bahkan ketika ada banyak gadis berebut mendapatkan perhatianku. Ternyata aku malah jatuh hati pada seseorang yang bahkan tidak mempedulikanku. BAB DUA Inilah kisah pertemuanku dengan cinta pertamaku. Kakekku adalah seorang ulama. Beliau mempunyai pesantren modern. Lembaga pendidikan yang ada disana namanya KMI, setara SMP dan SMA dijadikan satu. Lama pendidikannya adalah enam tahun. Kakekku mempunyai lima anak. Ibuku adalah putri pertama sekaligus satu-satunya Suatu hari datanglah seorang pemuda desa melamar ibuku. Ibuku menerimanya. Mereka menikah. Dan sang Pemuda membawa istrinya ke kampung halamannya. Beberapa tahun berlalu lahirlah kakakku, kemudian aku, dilanjutkan dengan adik-adikku yang lain. Setiap bulan kami sekeluarga berkunjung ke rumah kakek untuk bersilaturahmi. Dan pertemuanku dengan cinta pertamaku terjadi dalam salah satu kunjungan itu. Saat itu aku masih duduk di kelas enam SD. Aku murni seorang anak laki-laki yang sama sekali belum menginjak masa remaja. Jadi ketika jantungku seakan jatuh berdebam hanya karena melihat seorang anak perempuan yang seumuran denganku. Itu adalah hal yang paling aneh (namun indah) yang bisa ku rasakan. Kunjungan ke rumah kakek biasanya membosankan. Aku hanya berdiam diri di rumah kakek. Meski beliau mempunyai pesantren yang cukup besar, namun santri-santrinya lebih tua dariku, jadi aku tak terlalu bisa berteman dengan mereka. Paman-pamanku semuanya tinggal di komplek pesantren milik kakek. Salah satu pamanku yang tertua, Paman Gozali membuka pesantren putri usia SD di rumahnya. Ada beberapa santriwati disana termasuk putri beliau sendiri yang bernama Aisah. Aku tidak terlalu ingat kenapa aku bisa memutuskan pergi bermain ke rumah Aisah. Karena bermain dengan anak perempuan adalah hal terakhir yang akan dilakukan oleh anak laki-laki seusiaku. Bila ketahuan teman sekelas, aku akan menjadi sasaran ejekan selama berbulan-bulan. Mungkin waktu itu aku kesana karena ajakan Amri (adik laki-lakiku). Sebab aku ingat sekali kami berdua saja yang berada disana, dan tidak dengan saudaraku yang lain. Ketika tiba disana, kami disambut dengan sangat antusias oleh para santriwati (usia mereka hampir sama denganku). Ternyata mereka sudah merencanakan untuk bermain kasti dan mengajakku ikut serta. Aku dan Amri setuju untuk ikut bermain. Kami menjadi dua orang kapten. Para anak-anak perempuan dibagi menjadi dua, satu di pihakku dan satu lagi di pihaknya. Kalau dipikirkan lagi kejadian waktu itu dimana dua orang anak laki-laki bisa bermain bersama puluhan santriwati tentu adalah hal yang luar biasa. Dan memang kenyataannya hal itu hanya terjadi sekali itu saja. Mungkin karena kami semua masih anak-anak, tidak ada yang merasa bahwa yang kami lakukan harus dihentikan. Beda sekali seandainya usia kami lima tahun lebih tua. Maka aku bermain dengan semangat tanpa tahu bahwa itu adalah bagian dari rencana Tuhan untuk mempertemukanku dengan separuh jiwaku. 

 BAB DUA
Inilah kisah pertemuanku dengan cinta pertamaku.
Kakekku adalah seorang ulama. Beliau mempunyai pesantren modern. Lembaga pendidikan yang ada disana namanya KMI, setara SMP dan SMA dijadikan satu. Lama pendidikannya adalah enam tahun.
Kakekku mempunyai lima anak. Ibuku adalah putri pertama sekaligus satu-satunya
Suatu hari datanglah seorang pemuda desa melamar ibuku. Ibuku menerimanya. Mereka menikah. Dan sang Pemuda membawa istrinya ke kampung halamannya. 
Beberapa tahun berlalu lahirlah kakakku, kemudian aku, dilanjutkan dengan adik-adikku yang lain.
Setiap bulan kami sekeluarga berkunjung ke rumah kakek untuk bersilaturahmi. Dan pertemuanku dengan cinta pertamaku terjadi dalam salah satu kunjungan itu.
Saat itu aku masih duduk di kelas enam SD. Aku murni seorang anak laki-laki yang sama sekali belum menginjak masa remaja. Jadi ketika jantungku seakan jatuh berdebam hanya karena melihat seorang anak perempuan yang seumuran denganku. Itu adalah hal yang paling aneh (namun indah) yang bisa ku rasakan.
Kunjungan ke rumah kakek biasanya membosankan. Aku hanya berdiam diri di rumah kakek. Meski beliau mempunyai pesantren yang cukup besar, namun santri-santrinya lebih tua dariku, jadi aku tak terlalu bisa berteman dengan mereka.
Paman-pamanku semuanya tinggal di komplek pesantren milik kakek.
Salah satu pamanku yang tertua, Paman Gozali membuka pesantren putri usia SD di rumahnya. Ada beberapa santriwati disana termasuk putri beliau sendiri yang bernama Aisah.
Aku tidak terlalu ingat kenapa aku bisa memutuskan pergi bermain ke rumah Aisah. Karena bermain dengan anak perempuan adalah hal terakhir yang akan dilakukan oleh anak laki-laki seusiaku. Bila ketahuan teman sekelas, aku akan menjadi sasaran ejekan selama berbulan-bulan.
Mungkin waktu itu aku kesana karena ajakan Amri (adik laki-lakiku). Sebab aku ingat sekali kami berdua saja yang berada disana, dan tidak dengan saudaraku yang lain.
Ketika tiba disana, kami disambut dengan sangat antusias oleh para santriwati (usia mereka hampir sama denganku). Ternyata mereka sudah merencanakan untuk bermain kasti dan mengajakku ikut serta.
Aku dan Amri setuju untuk ikut bermain. Kami menjadi dua orang kapten. Para anak-anak perempuan dibagi menjadi dua, satu di pihakku dan satu lagi di pihaknya.
Kalau dipikirkan lagi kejadian waktu itu dimana dua orang anak laki-laki bisa bermain bersama puluhan santriwati tentu adalah hal yang luar biasa. Dan memang kenyataannya hal itu hanya terjadi sekali itu saja. Mungkin karena kami semua masih anak-anak, tidak ada yang merasa bahwa yang kami lakukan harus dihentikan. Beda sekali seandainya usia kami lima tahun lebih tua.
Maka aku bermain dengan semangat tanpa tahu bahwa itu adalah bagian dari rencana Tuhan untuk mempertemukanku dengan separuh jiwaku.


BAB TIGA 
Bab tiga ini adalah lanjutan dari cerita bab dua yang sengaja ku potong untuk menambah rasa penasaranmu. Nah, sekarang mari kita lanjutkan saja apa yang sempat tertunda. Permainan kastinya berlangsung lumayan lama. Mungkin sekitar dua jam lebih. Waktu memang cepat berlalu bila kita terlalu menikmati apa yang kita kerjakan, dan terasa lama bila yang kita lakukan begitu menyebalkan. Aku sudah tidak ingat berapa skor akhirnya. Terlebih lagi pihak siapa yang memenangkan pertandingannya. Yang aku ingat betul hanyalah detik-detik pertemuanku dengan cinta pertamaku. Tak mungkin aku lupa hal yang seperti itu. Saat bermain aku tidak terlalu memperhatikan wajah anak-anak perempuan itu satu-persatu. Bahkan aku mengidentifikasi mereka sebagai pihak kawan maupun lawan hanya dengan melihat warna dan bentuk pakaian yang mereka kenakan. Karena melihat wajah anak perempuan dengan seksama bukan bagian dari kebiasaan seorang anak laki-laki. Kekuatan pukulan para anak perempuan itu tidak terlalu kuat, dan kemampuan mereka untuk mengejar dan menangkap bola jelas di bawah standar anak laki-laki. Maka kemampuanku yang sebenarnya biasa-biasa saja, bisa terlihat menonjol diantara mereka. Saat giliran jaga, sangat sering aku yang menangkap bolanya dan aku juga yang melemparkannya ke arah lawan. Jika kena sebelum masuk base, maka pihakku akan mendapatkan kembali giliran memukul. Lalu kemudian Tuhan melakukan apa yang diinginkanNya, dan tidak ada seorang pun yang mampu mencegahNya. Pihak lawan memukul bola lumayan keras sehingga agak melambung. Si Pemukul cepat-cepat berlari dari home ke base pertama. Dan dalam waktu yang sama seseorang dari base dua segera berlari menuju home untuk mendapatkan poin. Tapi Tuhan mentakdirkan aku untuk berdiri tepat dimana bola itu mengarah dan menangkapnya dengan mudah. Si Pemukul tentu saja sudah sampai di base pertama dengan selamat, tapi tidak dengan temannya yang terlanjur keluar dari base dua. Dia tidak bisa kembali, sedang antara dia dengan home ada aku yang telah memegang bola. Sebenarnya aku tidak tahu bahwa ada lawan yang keluar dari base dua. Aku bermaksud mengembalikan bola kepada si Pelempar ketika beberapa anak yang berada di pihakku berteriak-teriak. “Mbak Imah keluar base!” kata mereka bersahut-sahutan. Aku segera menoleh ke belakang dan mencari sasaranku. Namun tidak ku temukan orang yang mereka panggil-panggil dengan nama Imah. “Dia sembunyi di belakang pohon!”, seseorang memberitahuku. Sebuah pohon mangga dengan batang yang amat besar memang ditentukan menjadi pusat base dua. Dan sepertinya ada seseorang yang bersembunyi di belakangnya. Aku pun mendekati pohon itu dengan percaya diri, karena menurut perhitunganku, meski dia tiba-tiba berusaha melarikan diri dari situ, aku akan tetap bisa mengejarnya sebelum dia sampai ke home sekaligus memastikan dia terkena lemparan bolaku. Maka aku pun dengan berani memutari pohon, bermaksud membuatnya berlari lalu kemudian mengejarnya. Ku lihat kelebatan rambut panjang dan baju warna orange. Kemudia wajahnya menyembul dari balik pohon. Matanya menatapku yang langsung mengirim jutaan volt ke jantungku. Dadaku seakan meledak. Aku terguncang dan tak dapat bergerak. Imah memanfaatkannya untuk cepat-cepat kabur menuju home, meninggalkanku tenggelam dalam perasaan yang aneh. Bahkan dia sendiri tak tahu apa yang sudah dia timbulkan di hatiku. Tapi Tuhan tahu. Karena dia yang baru saja menanamkan satu tunas cinta di hatiku… Dan aku tak kuasa untuk menolak itu. 

BAB EMPAT
 “Suatu saat aku harus memilikinya!”, aku bergumam dalam hati. Setelah peristiwa itu hingga akhir permainan kasti aku tak sanggup untuk tak mencuri-curi pandang padanya. Dan namanya telah tergores di jantungku hingga mustahil untuk ku lupakan. Begitu permainan selesai ku sadari bahwa sebenarnya aku telah beberapa kali bertemu dengannya. Hanya saja aku tak pernah benar-benar memperhatikannya. Aku tahu dia teman baik Aisah, dan sempat ku lihat mereka beberapa kali sedang bermain bersama saat aku berkunjung ke rumah kakek. Kenapa baru sekarang aku jatuh cinta padanya, adalah sebuah misteri yang hanya Tuhan yang tahu. Namun yang pasti, ketika aku melihat wajahnya menyembul dari balik pohon, aku seakan melihatnya untuk pertama kali. Dan itu memicu sebuah reaksi aneh dalam hatiku. Ketika kami saling pandang waktu itu, aku bagai mendengar bunyi ‘klik’ dalam jiwaku. Dan tiba-tiba saja aku tersadar bahwa selama ini aku sebenarnya hanya setengah bagian saja. Ibaratnya aku ini sebuah port USB di sebuah laptop yang belum pernah dipakai. Aku merasa tidak kurang suatu apapun karena memang beginilah seharusnya aku. Tapi suatu hari tiba-tiba sebuah flashdisk memenuhiku, dan saat itu juga aku sadar bahwa aku diciptakan untuk flashdisk, dan flashdisk diciptakan untukku. Begitulah kira-kira perasaanku bila harus diibaratkan, meskipun penggambaran ini terkesan norak. Dan sejak saat itu, meski terdengar aneh, jauh di dalam lubuk hatiku aku punya keyakinan yang sangat kuat bahwa suatu hari dia akan menjadi istriku. Keyakinan itu tidak tergoyahkan sama sekali hingga aku remaja meski banyak kabar menerpa. Aku tidak kehilangan keyakinan. Aku yakin dia diciptakan untukku dan aku diciptakan untuknya. Aku tidak ragu sedikitpun tentang itu. Ini betul-betul memalukan untuk anak seusiaku. Bila berani ku ceritakan pada teman-temanku, mereka pasti bakal menertawakanku. Hal lain, yang sebenarnya paling memalukan adalah keyakinanku bahwa saat itu imah (aku belum tahu nama lengkapnya) juga merasakan hal yang sama seperti apa yang ku rasakan. Padahal pada saat itu dia sedang merasakan cinta monyet dengan seorang teman sekelasnya (yang baru ku ketahui setelah aku besar nanti). 

BAB LIMA 
Mungkin ada yang bertanya-tanya apakah aku benar-benar membiarkan Imah masuk home tanpa melakukan apa-apa? Benarkah saking terlenanya aku cuma melongo layaknya penderita alzheimer? Tentu saja tidak! Aku berhasil mengenainya dengan bola yang ku lempar. Aku memang sejenak terpaku. Namun segera tersadar karena teriakan histeris anak-anak perempuan lain. Imah sudah meninggalkanku beberapa langkah. Namun aku melesat tiga kali lebih cepat dan melemparkan bola hingga mengenai punggungnya. Timku langsung berlarian menuju home. Bola terpantul tak tentu arah, dan Imah mengejar-ngejarnya dengan panik seakan mencoba menangkap ayam betina tetangga. Dia baru berhasil memungutnya setelah bola itu benar-benar berhenti menggelinding, dan itu sudah cukup terlambat karena tidak ada satupun anggota timku yang masih berkeliaran di luar home. Apakah itu menodai cerita ini? Dan apakah sebaiknya ku ceritakan saja bahwa aku (karena terlalu terpesona) membiarkannya masuk home? Tidak, tidak, tidak! Itu akan membuatku tampak bodoh. Ku kira melongo sampai tak bisa berbuat apa-apa hanya karena satu wanita adalah hal yang sangat keterlaluan. Seterpesona apapun, masa’ sih sampai mangap tak bergerak? Bahkan sebenarnya, keadaanku yang baru saja jatuh cinta itu, malah membuatku melesat lebih cepat. Logikanya; ketika aku punya kesempatan untuk berinteraksi dengan orang yang ku cintai. Maka jelas aku tak akan menyia-nyiakan kesempatan yang mungkin hanya terjadi sekali seumur hidup itu. Aku akan melakukan apa saja agar sejenak bisa melewatkan waktu dengannya (apapun bentuknya). Dan kenyataannya di kemudian hari, itu adalah sebuah hal yang begitu manis untuk dikenang. Apalagi setelah kejadian itu aku tak punya kesempatan lagi untuk berdekatan dengannya. *** Setelah permainan usai, aku tak punya alasan lagi untuk tetap berada di sana. Imah dengan cueknya masuk ke sebuah ruangan tanpa terlihat memperhatikanku. Meski kecewa berat harus berpisah tanpa kata, aku dan Amri akhirnya terpaksa kembali ke rumah kakek. Dalam perjalanan itu tubuhku melunglai. Benar-benar terlihat tersaruk-saruk oleh mata telanjang. Amri sampai bingung dengan keadaanku. Baru kali ini aku merasa hidupku terasa hampa. Kosong melompong. Seperti kalau kamu mengintip ke port USB yang sedang nganggur tidak dicolok flashdisk. Begitulah keadaanku; berlubang. Ini sungguh aneh untuk dialami oleh anak seumurku. Bagaimana mungkin aku yang anak lelaki tulen ini bisa termehek-mehek oleh pesona seorang Imah. Waktu itu aku ingin sekali kembali ke rumah Aisah untuk kemudian mencari-cari Imah. Namun bahkan bagi pikiran kanak-kanakku, itu bakal menjadi hal yang paling memalukan yang akan pernah ku lakukan. Memangnya apa yang akan ku katakan padanya? Bahwa aku mencintainya? Bahwa aku tak bisa hidup tanpanya? Bila ku lakukan itu, bahkan kamu pun pasti akan mentertawakanku. Tapi sesampai di rumah kakek, tiba-tiba ada secercah harapan timbul. Ibuku berkata padaku sambil lalu, “Kita pulang besok saja, ibu mau menjenguk teman yang lagi sakit, kita menginap disini.” Maka paginya aku kembali pergi ke rumah Aisah meski tanpa alasan yang jelas. Keadaan menjadi lebih buruk karena Amri menolak ikut, padahal dia mau ku jadikan tameng bila nanti ditanyai macam-macam. Namun syukur sekali, ketika sampai disana ternyata anak-anak perempuan itu dengan antusias menyambutku. Tak ada satupun yang mempertanyakan keberadaanku disitu. Malah mereka dengan gegap gempita mengajakku ngobrol dengan aku sebagai titik pusatnya. Maka waktu itu aku jadi besar kepala dan kegantengan. Tapi sayang sekali tidak ada Imah diantara mereka. Waktu berlalu dan Imah ternyata tidak muncul-muncul juga. Padahal tujuanku kesitu adalah untuk melihatnya lagi, syukur-syukur bisa berbicara barang sepatah dua patah kata dengannya. Aku semakin gelisah dan tidak fokus pada arah pembicaraan. Hingga akhirnya rasa di hatiku tak tertahan lagi. Aku bertanya dengan suara serak dan nada yang aneh, “Imah mana?” Dan mereka pun histeris alay. Beberapa langsung masuk ke sebuah ruangan di dekat situ dan berteriak sambil cekikikan, “Mbak Imah! Dicari Mas Taufiq!” Aku terkejut dan tengsin berat begitu tahu bahwa Imah ternyata ada di dekat situ, hanya berbatas dinding denganku. Imah ternyata memutuskan untuk tidak keluar karena aku mendengar beberapa anak memaksanya untuk menemuiku dan tidak berhasil. Duniaku seakan hancur lebur dan kegantenganku seakan masuk comberan. Itulah terakhir kalinya aku berusaha mendapatkan perhatian Imah, yang berujung dengan perasaan seperti seekor kecoak yang diusek-usek dengan sandal. Sorenya aku segera pulang ke desa. Tentunya dengan perasaan yang tak karuan hingga beberapa hari kemudian. Bila malam tiba aku sering memimpikannya. Aku juga membayangkannya sebelum tidur. Dalam bayanganku, aku menjadi seorang pahlawan yang menyelamatkannya dari para penjahat. Waktu itu aku betul-betul ngarep yang tak kesampaian. Rasanya seakan aku bisa saja nangis darah sewaktu-waktu!. 

BAB ENAM 
Seorang anak laki-laki berumur dua belas tahun. Belum tamat SD, mencintai seorang gadis cilik dengan sepenuh hatinya. Bagaimana cara anak itu untuk melanjutkan hidup? Semua tentu saja berjalan seperti biasa seakan tak pernah terjadi apa-apa. Cinta ini hanya tunas, dan tanpa disiram, ia berhenti tumbuh. Namun tak pernah mati. Anak-anak biasanya kehilangan cinta masa kecil. Dan hanya beberapa yang bisa mempertahankannya hingga dewasa. Karena cinta masa kecil selalu tak terawat, tak terjaga dan tak dihiraukan. Inilah realita cinta di dunia nyata : Ia hanyalah sebuah bentuk hubungan antar manusia. Rawatlah maka dia akan mekar, acuhkan maka dia akan kembali menguncup. Sesederhana itu meski ada saja yang mencoba membuatnya rumit. *** Tak lebih dari seminggu aku sudah melupakan keberadaan Imah. Sebagaimana pikiran seorang anak yang sederhana, aku segera beradaptasi dengan keadaanku. Aku memang masih mencintai Imah tapi kenyataan bahwa aku sulit bertemu dengannya malah membuatku dengan gampang melupakannya. Pikiranku dengan cepat teralihkan pada hal lain. Asal tidak kembali bertemu dia, hidupku akan kembali seperti sedia kala. *** Beberapa bulan setelah insiden permainan kasti, aku lulus SD. Maka aku pun melanjutkan pendidikan di pesantren kakekku, menyusul kakakku yang sudah masuk kesana dua tahun lalu. (Setahun kemudian, giliran Imah, Aisah dan Amri yang masuk ke pesantren, jadi kami terpaut jarak satu tahun, mereka adik kelasku) Kehidupan di pesantren menjagaku dari cinta remaja yang merusak. Apalagi waktu itu belum ada HP (handphone). Kebiasaan saling berkirim surat masih menjadi favorit para pecandu cinta. Kompleks pesantren kakekku lumayan besar. Dikelilingi tembok tinggi layaknya benteng. Di tengahnya ada tembok pembatas yang memisahkan bagian putra dan putri. Otomatis juga ada dua gerbang. Ringkasnya; meski berada dalam satu kompleks, tapi para santri putra dan santri putri tidak bisa saling bertemu. Mereka seakan hidup dalam dunia yang berbeda. Namun seketat apapun peraturan yang diterapkan, masih ada saja santri yang bisa menemukan celahnya. Berawal dari hal yang tidak disengaja, hubungan berlanjut ke tahap surat-suratan (dan biasanya memang hanya sampai tahap seperti itu karena dengan cepat pesantren akan mengetahui pelanggaran yang mereka lakukan). Mereka menempuh resiko terkena hukuman berat hanya untuk memuaskan rindu atau apalah itu, yang timbul karena gejolak masa muda. Aku sendiri tidak suka bila ada temanku yang punya hubungan tersembunyi dengan santri putri. Karena ketika ku tanya alasannya, mereka hanya mengatakan bahwa itu hanyalah untuk bermain-main, having fun, dan tanpa niatan untuk menikah. Aku tidak bisa menerima alasan seperti itu karena didikan ibuku. Aku adalah orang yang anti pacaran. Sejak kecil tidak ada niat sedikitpun untuk melakukan hal yang tidak berguna itu. Bila toh suatu saat nanti aku berhubungan dengan seorang wanita, itu karena aku bermaksud menikahinya. Ketika aku sudah menentukan pilihanku, kalau bisa aku ingin segera menikah dan menikmati kebersamaan dengan halal. *** Aku menempuh pendidikan di pesantren selama enam tahun. Sebuah waktu yang sangat lama yang tentunya mempunyai banyak cerita menarik yang bisa ku ceritakan disini. Tapi akan ku batasi hanya untuk kisah-kisah yang mempunyai relevansi terhadap keseluruhan cerita dalam novel ini. Untuk selanjutnya, kehidupanku di pesantren akan ku rangkum dalam beberapa bab sehingga kamu akan bisa mengerti bagaimana aku beranjak remaja dan mulai gila. 

BAB TUJUH 
Tahun pertamaku di pesantren berlalu dengan sangat baik jika dipandang dari sudut akademis. Rankingku tidak pernah keluar dari tiga besar. Dan itu ku raih tanpa aku harus berusaha terlalu keras. Tidak ada pelajaran yang bisa membuatku frustasi. Aku anak yang pintar sejak kecil. Bila kamu termasuk orang yang punya daya tangkap sepertiku, kamu akan mengerti bagaimana rasanya. Ketika teman-temanmu harus mengulang puluhan kali untuk menghafal sebuah kalimat, kamu hanya perlu tak lebih dari jumlah jemari tanganmu. Aku memang dikaruniai kecerdasan di atas rata-rata, itu sebuah kenyataan yang tak bisa didebat siapapun. Tapi tetap ada banyak orang yang lebih jenius dariku. Bahkan temanku yang selalu juara satu hanya perlu membaca buku pelajaran satu kali sebelum masuk ruang ujian, dan dia akan tetap mendapat nilai tertinggi. Dengan melihat itu, aku jadi tahu bagaimana perasaan orang-orang yang berdaya tangkap lemah. Dan menghormati usaha mereka untuk belajar sampai jauh malam agar bisa terus naik kelas. Kadang-kadang aku iseng menemani mereka belajar. Ku lihat mata lelah dan frustasi mereka ketika mengucapkan kalimat-kalimat bahasa arab dengan nada tinggi. Mencoba memasukkannya ke dalam ingatan mereka yang terasa mengukir di atas air. Sungguh pemandangan yang mengharukan sekaligus ironis, karena aku tahu, sebesar apapun kesungguhan mereka, nilai mereka tetap akan lebih rendah dariku. *** Di dalam pesantren para santri putra (termasuk aku) jarang sekali melihat perempuan kecuali ibu-ibu dapur, para juru masak yang bertanggung jawab pada kelangsungan hidup semua penghuni pesantren. Mata kami yang sudah beranjak remaja lelah dan muak oleh lelaki. Melihat kumis, jenggot, dan bulu ketiak adalah hal yang menyakitkan. Bau badan kakak kelas yang sengaja dibiarkan membusuk meracuni udara suci disana. Saat-saat kami memperoleh ijin keluar dari kompleks pesantren (dengan alasan yang sering kali kami buat-buat) seperti sebuah terapi demi menjaga akal sehat kami agar tidak kalap dan gelap mata. *** Aku suka bermain sepak bola sejak kecil dan aku ahli melakukannya bila bola yang digunakan adalah bola plastik. Di pesantren ada lapangan berdebu yang cukup luas untuk digunakan para santri bermain bola. Dan hampir tidak ada hari di pesantren kecuali aku bermain bola di sore harinya. Kecintaanku pada sepak bola sempat membuatku bercita-cita menjadi pesebak bola professional walaupun akhirnya impian itu hilang perlahan-lahan tergerus oleh waktu. Tanpa latihan dan usaha yang sungguh-sungguh, sebuah impian hanyalah impian sampah. Detik-detik hancurnya mimpiku adalah ketika aku mencoba bermain dengan bola kulit di lapangan besar dengan jumlah tim yang hanya bersebelas, ternyata baru setengah jam aku sudah tak kuat berlarian kesana-kemari. Itu adalah pertama kalinya aku melakukan pertandingan sepak bola (bukan main-main lagi). Dan saat itu aku langsung tahu berbagai kelemahanku. Aku tak punya stamina untuk terus berlari selama satu setengah jam. Lariku tidak cepat dan tendanganku juga lemah. Sebenarnya itu semua bisa diatasi dengan latihan keras dan usaha tanpa kenal lelah, namun sayangnya perbuatanku tidak sebesar anganku. Kesungguhanku tidak sekuat mimpiku. Dan niatku tak setinggi cita-citaku. *** Tak ada cinta yang mengusikku di tahun pertama, begitu juga di tahun kedua dan ketiga. Ku jalani tiga tahun hidupku di pesantren tanpa memikirkan lawan jenis. Tunas cinta imah tertimbun dan tertumpuk tanah kehidupan. Setiap hubungan ditumbuhkan oleh pertemuan dan menjadi lemah oleh perpisahan. Dikuatkan dengan kepedulian dan dimatikan oleh egoisme. Ini adalah bukti ketidak kekalan cinta pada makhluk. Hanya ketika seseorang mencintai cinta itu sendiri, barulah dia bisa mencintai kekasihnya tanpa syarat. Aku pun beranjak remaja dengan baik, disebut sebagai murid teladan, dan tidak pernah melanggar peraturan berat di pesantren. Aku menjadi murid kesayangan para ustadz dan dianggap sebagai penerus nama besar kakekku. Bahkan paman Gozali berusaha menjodohkanku dengan putrinya. Tapi itu hanya sampai tahun ketiga. Di tahun keempat aku mulai berbalik menuju sisi gelap. Jurang masa muda yang tak terelakkan. Jiwa yang memberontak terhadap tatanan. Yang disebabkan oleh ketidak pedulian orang-orang dewasa. 

BAB DELAPAN
 Pada tahun keempat, aku mendapat hukuman berat pertamaku di pesantren. Persisnya aku dihukum memotong habis rambutku sampai licin alias gundul karena kedapatan keluar kompleks tanpa ijin di malam hari. Kelakuanku itu sebenarnya adalah sebuah hal yang tak direncanakan. Suatu keputusan yang dilandasi oleh jiwa muda yang selalu ingin coba-coba. Saat di tahun keempat, keluar pondok tanpa ijin sudah menjadi kebiasaan sebagian santri (setidaknya pada masaku). Itu hampir seperti kebiasaan merokok di kalangan remaja pada umumnya. Ada begitu banyak tekanan, ejekan, cemoohan bila ada santri yang masih takut-takut untuk melanggar peraturan. Dan sumber dari semua kebiasaan negatif itu hanya satu; yaitu rasa ingin diakui. Hanya santri-santri yang merasa dihargai oleh orang dewasa lah (para santri teladan, penghafal Al-Quran, peraih prestasi tinggi di kelas, dan lain-lain) yang tahan dengan cobaan itu. Bahkan terkesan cuek dengan segala ejekan dan cemoohan, karena di dalam lubuk hati, mereka tahu bahwa mereka lebih baik daripada orang-orang yang menghina mereka. Kami sedang menjalani masa transisi dari anak-anak menjadi remaja sepenuhnya. Masa dimana seorang anak mulai melakukan pencarian atas jati dirinya. Masa dimana kami mencari pengakuan atas keberadaan kami di dunia. Masa dimana kami begitu ingin dilihat dan diperhatikan serta turut ambil bagian. *** Biasanya para santri itu hanya keluar sebentar untuk membeli makanan di warung dekat pondok dan cepat-cepat masuk kembali sebelum ada ustadz yang memeriksa. Dan bila ketahuan, hukumannya tidak terlalu berat, cuma diberdirikan di halaman depan pesantren selama tiga jam diantara pandangan mengejek adik-adik kelas. Dan aku sesekali ikut-ikutan dengan kebiasaan itu. Karena jujur saja, waktu itu aku mengalami suatu kejenuhan untuk terus menjadi santri baik-baik. Hormon remajaku menuntut sebuah hal baru, yang sayangnya malah membuatku kebablasan. *** Suatu malam aku keluar pesantren untuk sekedar membeli makanan setelah belajar. Waktu itu jam setengah sepuluh malam, aku berniat segera kembali ke dalam begitu mendapatkan apa yang ku inginkan. Tapi begitu sampai di warung, aku bertemu dengan tiga orang temanku yang merencanakan untuk menonton bioskop. Mereka harus segera berangkat agar tak ketinggalan pemutaran terakhir. Aku mendengar pembicaraan mereka dan iseng bertanya karena ingin tahu. Dan dengan antusias mereka malah mengajakku, membujukku, merayuku untuk ikut dengan mereka. Mereka berkata bahwa film yang akan mereka tonton judulnya; Ada Apa Dengan Cinta. Sebuah film laris buatan bangsa sendiri yang muncul setelah sekian lama industri perfilman Indonesia mengalami mati suri. Mereka berkata aku seharusnya juga menjadi bagian dari sejarah dengan menontonnya di bioskop. Akhirnya lima menit kemudian aku sudah berada di atas becak bersama mereka menuju bioskop. Ku putuskan ikut dalam euphoria itu. Ku putuskan untuk merasakan menonton bioskop untuk pertama kalinya. Dan keputusan itu merubah total kehidupanku. *** Jam dua belas malam kami masuk pondok dengan mengendap-endap. Ternyata ada ustadz yang lebih pintar dari kami semua. Berdiri mengangkang di halaman pesantren. Menangkap basah kami yang sedang membungkuk sambil berjingkat-jingkat. Sang ustadz tidak menyangka aku menjadi salah satu dari para pelanggar itu. Matanya melihatku penuh penghinaan. Dan harga diriku pun runtuh saat itu juga. Identitasku sebagai santri teladan hilang musnah menjadi abu. Kami diberdirikan di halaman. Kemudian sang ustadz mulai mengguntingi rambut kami dengan seenaknya. Aku yang baru pertama kali merasakan itu betul-betul merasa terhina dan sangat sedih. Mau jadi apa aku setelah hari itu adalah pertanyaan besar yang tak sanggup ku jawab. *** Dengan hukuman gundul yang ku terima, secara tidak langsung aku meletakkan jabatanku sebagai salah satu santri yang baik sejak tiga tahun lalu. Dan aku mulai dianggap telah masuk ke golongan anak-anak nakal, para sontrot (santri mbalelo). Pertemananku berubah. Mereka yang dulu ku jauhi sekarang mendekat dan yang dulu dekat sekarang menjauh. Begitu pergaulan berganti, sikapku juga berganti. Dan karena aku cerdas, bukan hal sulit bagiku untuk tampak menonjol diantara yang lain. Sebagian besar adik kelas mulai memanggilku Bos dan aku menikmati pengakuan sebagai santri ternakal di pesantren itu. Ketika naik ke kelas lima, aku menyadari telah keluar malam untuk menonton bioskop hingga belasan kali meski tak ada satupun yang ketahuan lagi. Sebenarnya hukuman gundul itu adalah yang pertama dan terakhir bagiku. Tapi kenakalanku membumbung tinggi tak terkendali dalam bayang-bayang. Aku tak pernah tertangkap basah, namun para ustadz tahu bahwa aku telah berubah. Mereka mulai memandangku dengan miris. Kenakalanku semakin menjadi-jadi di tahun terakhirku di pesantren. Pelanggaran besar memang tak pernah ketahuan. Namun aku mulai melanggar peraturan-peraturan kecil, disiplin-disiplin remeh dalam kuantitas yang begitu seringnya melebihi teman-temanku yang lain. Sehingga membuat para ustadz kewalahan. Pada tahun terakhirku sebagai santri, disebabkan sikapku yang sudah tak bisa diatur lagi, akhirnya kakekku dengan berat hati memutuskan untuk menskorsingku selama dua bulan. Aku dikirim kembali ke rumah untuk merenung dan memperbaiki sikapku, apalagi saat itu sudah mendekati ujian akhir. Saat itu aku berada di titik nadir dalam pencarian jati diriku. Aku betul-betul merasa telah kehilangan arah. Bukan inginku untuk menjadi senakal itu, namun dimana lagi ku dapatkan pengakuan selain disana. Dan faktanya butuh waktu yang sangat lama untuk kembali menempuh jalan yang sebenarnya ku inginkan. Bahkan hingga detik ini, sebuah stereotip menempel di dahiku yang disebabkan oleh masa laluku. Orang-orang dewasa memandangku dengan sebelah mata. Aku tak punya cukup pengakuan dan kepedulian. Dan aku harus bangkit dengan kekuatanku sendiri. *** Setelah menjalani skorsing aku langsung dihadapkan dengan ujian akhir. Semua temanku berkonsentrasi untuk menghadapinya sehingga kenakalan kami menurun. Aku tidak mendapatkan kesulitan berarti saat ujian karena kecerdasanku. Dan akhirnya aku lulus juga dari pesantren meski dengan berbagai catatan. Begitulah tiga tahun terakhirku di pesantren. Meski terasa begitu suram, namun ada pelajaran berharga yang bisa di petik dari sana. Aku belajar bagaimana menjadi orang dewasa yang baik. Aku belajar bagaimana membimbing remaja yang sedang kehilangan jati diri. Memang sangat sulit untuk mempercayai orang yang telah mengkhianati kepercayaan kita. Sangat sulit untuk memaafkan mereka. Dan sangat mudah untuk menghakimi mereka sebagai sampah masyarakat. Namun para pemuda itu menjadi seperti itu karena kurangnya kepedulian kita. Kurangnya pengakuan kita atas potensi yang mereka miliki. Serta kurangnya kemampuan kita untuk terus percaya pada mereka walaupun berkali-kali dikecewai. Kunci kesuksesan seorang pemuda adalah kepedulian, pengakuan dan kepercayaan dari orang dewasa. 

BAB SEMBILAN 
Aku sudah menceritakan secara garis besar, enam tahun kehidupanku sebagai santri. Namun ada beberapa hal lain yang ingin ku tambahkan. Salah satunya adalah tentang bagaimana para santri berkenalan dengan yang namanya cinta. Saat kelas satu, para santri yang masih baru hanya fokus dengan keadaan mereka yang jauh dari orang tua. Satu-satunya yang mereka rindukan adalah orang tua dan keluarga dekat. Saat kelas dua, keadaan mereka kian stabil dan persahabatan antar teman mulai terjalin kuat. Rasa kangen kepada orang tua berkurang banyak. Namun mereka belum benar-benar menjadi remaja untuk bisa memusingkan masalah cinta. Nah, begitu kelas tiga, mereka akan menghadapi EBTANAS atau UAN atau apapun sebutannya saat ini, untuk mendapatkan ijazah MTs. Pada saat EBTANAS itulah satu-satunya waktu dimana santri putra dan santri putri (karena aturan pemerintah) terpaksa dikumpulkan dalam satu ruangan untuk menjalani ujian. Pada saat itulah mereka menyadari bahwa kelas mereka bukan hanya terdiri dari putra saja atau putri saja. Tiba-tiba saja mereka paham bahwa di balik tembok tinggi pesantren ada yang seharusnya menjadi teman sekelas mereka. Tiba-tiba saja mereka merasa terhubung satu sama lain. Mereka seharusnya selalu dalam satu ruangan setiap hari bila mereka tidak berada di sebuah pesantren. Mereka menemukan alasan untuk berhubungan. Dan para pengidap PD tingkat akut mulai beraksi. Bersiul-siul setiap ada kesempatan. Menggoda kala ustadz lengah. Dan berusaha berkenalan saat situasi memungkinkan. Intinya, mereka ibarat monyet ketemu pisang. Uw! Uwk! Awk! Awk! Hebatnya, hubungan mereka berlanjut hingga setelah ujian selesai. Begitu naik ke kelas empat, beberapa kali ku dapati salah satu temanku mendapatkan surat dari kompleks sebelah. Aku sendiri tidak tahu modus operandi seperti apa yang mereka praktekkan, karena bagiku sendiri, bertukar informasi dengan pesantren putri adalah hal yang hampir mustahil. Tebakanku mungkin ada agen khusus yang bisa dijadikan sebagai kurir pembawa pesan. Tuduhanku mengarah pada santri putra yang punya saudari entah kakak atau adik di kompleks sebelah yang bisa bertemu saat orang tua datang menjenguk. Disaat itulah berlembar-lembar surat diselundupkan dari kompleks putra ke kompleks putri dan sebaliknya. Pada titik ini kita patut bersyukur dengan adanya institusi yang namanya pesantren. Karena dengan keberadaannya, gejolak jiwa para remaja yang disertai rendahnya pengendalian diri bisa diredam hingga ke level yang tidak membahayakan. Kenakalan remaja di pesantren jauh lebih aman daripada kenakalan remaja di dunia luar. Meski bergelar sebagai santri yang paling sulit diatur, aku tetap dianggap anak yang baik kalau dibandingkan dengan remaja pada umumnya. Para santri itu sudah sangat senang bila berhasil mendapat balasan surat. Mereka mungkin bisa saja bertemu di luar kompleks pesantren. Namun libur panjang dimana mereka diperbolehkan pulang hanya terjadi dua kali setahun. Dengan tetap berada di pesantren maka mereka dalam keadaan tidak ideal untuk mengembangkan hubungan mereka ke tingkat yang lebih intim. *** Saat aku kelas lima. Aku mulai mendengar nama Imah disebut-sebut oleh beberapa santri kelas empat. Setelah beberapa tahun tak mendengar kabarnya, tiba-tiba saja sebuah fakta menerpa. Imah berkirim surat dengan beberapa adik kelasku. Itu membangkitkan sebuah kenangan yang sudah terkubur sekian lama. Mengembalikanku pada sebuah siang nan terik. Aku ingat pada kibasan rambut. Bola kasti yang terbang di udara. Baju warna jingga. Kaki-kaki mungil yang berlari. Dan mata yang menembus sampai ke jantung. Ketika itulah aku sadar bahwa setelah kejadian itu, cintaku belum juga ada yang baru, belum ada yang menggantikan tempatnya dalam jantungku. Dan aku juga sadar bahwa selama ini ternyata cinta itu tertidur (oleh waktu) di dalam biliknya, menungguku menciumnya agar kembali terjaga dan memperbarui mekarnya. 

BAB SEPULUH 
Sudah sifat remaja untuk merasa jadi yang paling ganteng sejagat raya. Bahkan meski muka di bawah standar tetap saja bergaya seakan Syahru Khan. Itu tidak hanya terjadi pada mereka, tapi juga terjadi padamu juga padaku. Ketika aku mendengar kabar Imah berkirim surat dengan santri putra, tak ada sedikitpun kekhawatiran yang terbersit di hati. Aku merasa tampang mereka masih kalah dari tampangku dengan perbandingan yang sangat jauh. Bagaikan langit dan bumi. Dalam pikiranku aku percaya Imah hanya akan cinta padaku, karena aku paling ganteng. Padahal tidak ada alasan bagiku untuk seoptimis itu. Begitu dewasa, bila bercermin atau melihat foto-foto masa lalu, aku menyadari nilai fisikku tak lebih dari empat dari nilai sempurna sepuluh. Tapi entah kenapa, darah muda bikin orang lupa sama tongkrongan. Bawa bajaj berasa BMW. Selain itu, kenyataannya aku hanya punya satu kenangan dengan Imah; saat aku melemparnya dengan bola kasti. Di luar itu kami tidak berteman, tidak bersahabat, belum pernah saling bicara atau pun bertegur sapa. Aku betul-betul hanya seorang pemuja rahasia. Cintaku hanya cinta dalam diam. Aku tidak tahu banyak tentang Imah (namanya panjangnya pun aku tak tahu). Aku tidak tahu keluarganya, rumahnya dan gaya hidupnya. Aku juga tak tahu apa yang disukainya atau pun yang dibencinya. Satu-satunya yang ku tahu dari dia adalah bahwa dia cinta pertamaku. Dan hanya aku yang tahu itu. Aku betul-betul nothing buat Imah, yang anehnya sama sekali tak ku sadari. Dasar kepedean! Aku yakin Imah hanya akan menjadi milikku disebabkan oleh pesonaku yang tak bisa ditolak oleh gadis manapun. Bahkan ketika dia diisukan berpacaran dengan salah satu santri. *** Entah benar entah tidak. Entah berita itu hanya isu yang dibuat-buat demi kepentingan seseorang atau fakta sebenarnya. Aku sama sekali tak percaya Imah mau sama santri itu. Tapi kabar itu begitu santer saat itu hingga tak mungkin ku abaikan. Memaksaku untuk menemui orang yang disebut-sebut sebagai pacar Imah. "Beneran kamu sama Imah", pertanyaanku meluncur tanpa basa-basi, tapi tetap dengan tersenyum karena aku dan dia bisa dikatakan teman.. Dia terkejut dan bertanya sambil tertawa lebar, "Lha kenapa memangnya?" "Boleh saja saat ini dia sama kamu, tapi nanti akhirnya toh dia bakal sama aku." Dia tertawa mendengar kata-kataku. Dan segera menantang, "Silahkan! Silahkan! Buat dia jadi milikmu kalau bisa!" "Oke!", jawabanku jujur dan tegas, lalu kami berpisah dalam tawa misterius. Menurutku, saat itu kami berdua sama-sama sedang merasa jadi yang paling ganteng di antara langit dan bumi. Pertemuan itu berlangsung singkat, tak ada saksi, dan sepertinya tak akan menjadi suatu hal yang besar. Aku memang melakukanya secara spontan hanya untuk menegaskan posisiku sebagai calon suami Imah. Aku tak percaya Imah punya pacar. Pasti ada alasan kenapa berita itu begitu eksis diantara santri senior. Pasti hanya akal-akalan saja. Paling hubungan mereka tidak serius. Karena aku yakin hanya aku yang pantas untuk menjadi suami Imah. Begitulah yang ku pikirkan saat itu. *** Tak disangka tak dinyana berita kalau aku jatuh cinta sama Imah tersebar hingga ke kompleks putri. Entah siapa dalangnya tiba-tiba ada yang (bagai wartawan gosip) mencoba mengkonfirmasi padaku. Kenyataan bahwa aku cucu pimpinan pesantren, membuatku menjadi salah satu kandidat kuat untuk mendapatkan Imah. Waktu itu aku mulai sadar bahwa ada banyak santri yang diam-diam memendam rasa pada Imah. Kehebohan terjadi diantara teman-teman Imah, mereka meributkan tentang siapa yang akan dipilihnya. Beberapa mendukungku dan beberapa lagi menolakku mentah-mentah. Sungguh khas cerita cinta remaja. Namun sesungguhnya cinta santri itu kebanyakan cinta yang terpendam. Sebagai remaja sangat alami untuk sedikit condong pada lawan jenis. Namun di dalam pesantren, berkirim surat saja harus menunggu ada yang mau dititipin, apalagi untuk saling bertemu. Ada hukuman berat mengintai di setiap waktu. Bagi para santri, mari bersama-sama bersyukur dan berterima kasih atas jasa pesantren yang telah menekan gejolak muda kita dan menjaga kita dari lemahnya pengendalian diri. *** Imah mulai tahu bahwa aku mencintainya. Aku bukan lagi pemuja rahasia. Meski cintaku tetap saja diam. 

 BAB SEBELAS 
Aku punya teman sekelas bernama Jojo. Untuk urusan perempuan dia nomor satu, setidaknya itu menurutnya. Kenyataannya dia memang berhubungan dengan banyak santri putri. Hampir semua orang di kompleks sebelah tahu namanya. Karena sudah puluhan gadis yang dia kirimi surat. Menurutku dia punya dua kelebihan yang membuatnya berteman dengan mereka; tak punya malu dan tak tahu malu. Dia begitu percaya diri hingga membuatku geleng-geleng. Hubungannya dengan santri putri hanya sebatas berteman. Betapapun dia berusaha, mereka selalu menolaknya dengan halus (atau dengan kasar!). Ku nasehati dia agar tidak terlalu percaya diri, karena sikapnya itulah yang membuat banyak perempuan jadi mundur (bahasa gaulnya jijay!). “Perempuan itu kalau terlalu kamu kejar, mereka malah akan lari. Kamu harus tahu kapan waktunya untuk menunggu dan kapan waktunya untuk melancarkan serangan mematikan yang akan menaklukannya.” , kataku padanya suatu hari. Biasanya dia akan mendebatku, dan mengatakan bahwa aku lah yang kurang pengalaman. Dan memang benar aku belum pernah berhubungan dengan satu perempuan pun hingga tahun kelimaku di pesantren. Pada tahun keenam, atau tahun terakhirku di pesantren, Jojo mengatakan padaku bahwa dia telah berteman dengan Imah dan dia juga sudah bertandang ke rumahnya yang ternyata tak terlalu jauh dengan pesantren. “Kok kamu bisa datang ke rumahnya?”, tanyaku. “Ya, waktu liburan kemarin”, jawabnya. “Nggak! Maksudku kok bisa-bisanya kamu datang ke rumahnya? Paham maksudku?”, aku menekan. “Laa afham…”, dia menjawab dengan bahasa arab yang maksudnya ra mudeng babar blas! “Apa hubunganmu sama dia?”, ku perjelas lagi maksudku. “Ya biasalah… teman…”, dia menyombong, sambil mencari-cari pandangan cemburu dari mataku, “kamu mau ku comblangin sama dia?”. “Bisa kamu?”, langsung ku sambar kesempatan. “Gampang itu!”. “Kok bisa?” “Whoo! Siapa dulu!”, dia menepuk dadanya, “Jojo!” HUEK! Ingin sekali ku tendang buah pelirnya. Sombong sekali dia! Tapi tetap ku akui dia betul-betul veteran soal menyembunyikan hubungan dengan santri putri. Buktinya hingga lulus pesantren dia belum pernah ketahuan ustadz. Padahal teman-teman yang lain sudah terjaring semua. Padahalnya lagi dia tidak berteman cuma dengan satu tapi dengan puluhan santri putri. Entah teknik rahasia apa yang dikuasainya. “Ya sudah, pokoknya aku tahu beres, dan kalau ketahuan jangan bawa-bawa aku.”, aku memberi syarat. “Jojo kok ketahuan!”, dadanya membusung sok, “Jangan samakan dengan amatiran dong! Sudah veteran nih!” “Jiah! #$%@!!”. *** Maka pada suatu hari, tiba-tiba Jojo datang menghampiriku saat aku sedang duduk santai di beranda kamar. “Nih suratnya!”, katanya. “Surat apa?”, tanyaku yang benar-benar tidak mengerti maksudnya. “Surat dari Imah!”, begitulah jawaban yang ku dapat. JGLAR! Aku tak menyangka Jojo benar-benar akan melakukannya. Ku kira dia hanya main-main. Aku langsung berlari ke WC untuk membacanya. Karena tak ada tempat teraman untuk membaca hal seperti itu selain disana. Tak mungkin ustadz mau menginspeksi santri-santrinya yang sedang menuntaskan hajatnya, “Woi! Berak beneran nggak nih yang di dalem? Coba buka!”. (#$%@#) Aku sangat bersemangat hingga gemetaran yang membuatku bekerja ekstra keras agar kakiku tak terperosok ke lubang WC. Ku buka surat itu yang hanya selembar. Ku selesaikan dalam lima belas detik. Ku baca lagi dari atas. Lalu ku baca lagi dari atas, dan ku baca lagi dari atas. Hingga puluhan kali. Tak pernah jemu ku pandangi dan ku resapi maknanya. Bagi mereka yang tak pernah merasakan cinta, aku tak kan berusaha menjelaskan apa yang sedang ku rasa. Karena sama saja tak ada efeknya. Kalau mau tahu rasa mangga silahkan dicoba, jangan cuma tanya, sebab sulit menjelaskannya. Bagi mereka yang pernah merasakan cinta, pasti tahu apa yang sedang ku rasa, gandakan rasa itu sepuluh kali. Lalu resapi dan mari bersuka cita bersamaku. *** Surat dari Imah sebenarnya biasa-biasa saja. Tak ada pernyataan cinta sama sekali. Khas sebuah surat yang dimaksudkan untuk penjajakan. Tidak menolak juga tidak menerima. Imah tentu tahu kabar cintaku padanya, namun dia belum pernah mendengar langsung dariku dan belum sekalipun bertemu denganku sejak kami main kasti beberapa tahun lalu. Jadi wajar isi suratnya aman-aman saja. Tapi ku balas suratnya dengan kata-kata tegas : Assalamu’alaikum warohmatullohi wabarokatuh. Teruntuk Dek Imah Terima kasih mau mengirimiku surat. Yang artinya kamu masih memberiku kesempatan untuk memenangkan hatimu. Namun tidak ada kata-kata ‘pacaran’ dalam kamus kehidupanku. Jadi aku tidak akan memulai hal itu denganmu. Yang pasti, suatu hari nanti, ketika aku sudah dewasa dan siap, dan kamu masih belum dimiliki siapapun. Aku Taufiqurrohman bersumpah akan datang melamarmu untuk menjadikanmu istriku. Dan terserah bagimu untuk menerimaku atau menolakku. Itu saja. Wassalamu’alaikum warohmatullohi wabarokatuh *** Efek surat seperti itu pada seorang gadis adalah sangat menerbangkan hingga ke awan. 

BAB DUA BELAS 
 Pasti ada yang penasaran dengan isi surat Imah. Aku masih menyimpannya hingga sekarang karena itu adalah kenangan sekaligus tonggak awal dari hubungan kami. Imah adalah gadis yang supel, periang dan suka berteman. Tak heran banyak yang menaruh hati padanya. Tak heran juga kalau banyak santri putra yang berhubungan lewat surat dengannya. Jadi sebenarnya surat yang dikirimkan Imah padaku bukanlah tanda cintanya untukku. Pada titik ini aku ingin mengajakmu untuk tidak terlalu tinggi berekspektasi tentang Imah. Jangan anggap dia sempurna layaknya dalam cerita novel romantis islamis. Jangan anggap dia malaikat tanpa dosa. Dia hanyalah seorang gadis yang ku cintai seperti adanya dia. Itu saja! Kalau di masa remajamu kamu pernah condong pada seseorang atau beberapa orang itu hal yang alami. Kalau di masa mudamu kamu pernah dekat dengan seseorang atau beberapa orang itu juga sesuatu yang sulit ditolak. Tapi setiap orang pasti punya nilai-nilai hidup yang membuatnya dihargai mahal atau murahan. Bagaimana kamu menyikapi kecondonganmu pada seseorang memperlihatkan kepantasanmu menjadi barang eksklusif atau obralan. Kita harus berterima kasih pada institusi pesantren yang dengan sekuat tenaga memberikan paradigma islami dalam kuatnya arus pergaulan bebas di jaman ini. Sehingga meski mereka tetap terkena imbas arus itu (pertemanan antar lawan jenis), ada nilai-nilai islam yang membatasi mereka dari bertindak lebih jauh. Selain itu, anggapan remeh dan ketidak pedulian orang tua terhadap pergaulan anaknya berandil besar pada rusaknya moral remaja. Anak-anak yang baru saja baligh ini tak punya energi pengendalian diri yang cukup layaknya orang dewasa. Mereka adalah anak-anak yang terjebak dalam tubuh yang sudah matang dan panas membara minta dilampiaskan. Jadi kalau Imah punya beberapa teman yang berjenis kelamin pria, itu masih dapat di terima sebagaimana kamu yang juga punya teman berlainan jenis kelamin. *** Pada masa beberapa hari sebelum Imah mengirim surat padaku, sepertinya dia baru saja mendapat hukuman yang lumayan serius dari pesantren karena kedapatan berkirim surat dengan salah satu santri putra. Sedangkan dari sisiku, aku baru saja menjalani skorsing sebagaimana ku ceritakan pada bab yang lalu. Aku dikenal sebagai santri mbalelo, simbol pemberontakan dan dianggap sangat nakal. *** Beberapa jam sebelum ku dapat surat dari Imah, Jojo mendatangiku yang sedang santai tiduran di kamar. “Ada sesuatu buat Imah?”, tanyanya. “Ha?”, cuma itu yang keluar dari mulutku. Aku tak terlalu paham dengan apa yang dimaksudkannya. Jojo membuka lemariku. Mengambil sebatang coklat yang ku simpan di rak paling atas. Lalu langsung ngeloyor pergi. “Woe! Maling!”, aku meneriakinya. “Alah…! Satu saja!”, dia menghilang keluar kamar. Memang ada empat batang coklat di lemari hasil pemberian adikku. Dan karena sebenarnya aku tak terlalu suka coklat jadi ku ikhlaskan saja Jojo mengambilnya. Aku pun tertidur hingga lupa kejadian di atas, hingga Jojo menyerahkan surat Imah padaku. Inilah isi surat itu. Silahkan membacanya… 

BAB TIGA BELAS (isi surat Imah) 
8 April ‘04 Hallo Ka’… gimana nich you punya khabar? Baik-baik aja khan? Oh… ya ka’, makasih ya tho’amnya… Ana masih pusing mau nulis apa… Yeach, ana hanya bisa nulis buat antum pesen-pesen : Antum tinggal selangkah lagi so… antum harus bisa jaga diri. Cinta yang sejati itu bukan dengan pacaran. Jadilah yang terbaik tapi jangan merasa yang terbaik. Lebih baik bekas or mantan preman daripada mantan kyai. Orang nakal tidak selamanya nakal. Kalau emang antum sayang ama ana, antum harus bisa njaga nama baik antum dan ana. So… antum masih di pondok, begitu juga ana, jadi jangan membuat masalah. Karena sekarang ana dalam awasan teman-teman ana, kalau seandainya ana macam-macam lagi ama putra maka ana akan dilaporkan ustadzah. So… ana akan dipulangkan. Jadi ana nggak mau mengulangi untuk yang kedua kalinya. Pikirkan sekolah antum dulu… nggak usah mikirin yang lain… because jodoh di tangan Tuhan. Study Hard and spirit for you. Jaga diri baik-baik. Good luck for you. Be the best man, OK! HIDUP PENUH PERJUANGAN SO JANGAN GAMPANG PUTUS ASA See You… 

BAB EMPAT BELAS 
Apa yang terjadi padaku dan Imah saat itu adalah sebuah hal yang tidak dapat dipercaya oleh diriku. Cinta sunyiku itu ternyata mendapat jalannya lewat campur tangan Jojo. Tanpa dia, mustahil semuanya bisa terjadi. Namun semua tetap berlalu begitu saja dalam diam. Sebagaimana sifat cintaku yang pasif, hubungan kami tidak berlanjut menjadi lebih intens. Seakan sebuah fenomena bintang jatuh, hanya sekejapan mata, dan langit pun tenang kembali. Beberapa hari setelahnya kehidupanku berlanjut sama saja. Ada dan tiadanya (surat itu) sama saja. Rasanya seperti sebuah mimpi. Bagaikan itu semua tidak nyata. Sesekali ku pikir itu hanya khayalan belaka. Dan aku akan segera berlari ke kamar, untuk meyakinkan diri bahwa surat itu betul-betul ada di lemariku. Dan aku selalu lega ketika mendapatinya terselip tak berdaya diantara buku pelajaran. Dalam renungan malam-malamku setelah itu, aku berdoa kepada Tuhan agar tak salah mengambil jalan. Agar suratku pada Imah yang blak-blakan akan melamarnya suatu saat nanti tidak menjadi hal yang ku sesali di kemudian hari. Aku ingin punya istri yang bisa ku cintai sampai mati. Meski tetap saja diam, hubunganku dengan Imah sudah tak sama lagi. Jika sebelumnya rasa cintaku padanya hanyalah sebuah spekulasi. Hanya kabar burung. Hanya isu. Maka dalam balasan suratku padanya tertulis dengan jelas sumpahku untuk menikahinya. Bagi Imah, suratku tentu memberi dampak yang dahsyat pada hatinya. Seorang laki-laki tiba-tiba datang padanya dan bersedia untuk menjadi suaminya. Pendamping hidupnya. Siap menjadi teman dalam suka dan duka. Siap menjadi pemimpin, pengayom, pelindung, juga ayah dari anak-anaknya. Meski tampangku pas-pasan, pesonaku tak tertahankan. Bagiku sendiri, sumpahku padanya membuatku tak bisa mundur lagi. Ludah sudah tersembur pantang dijilati. Janji dibuat untuk ditepati. Dan aku tentu saja dengan jantan tak sudi lari. Dalam doa sesudah sholatku, tak jarang terselip kata, “Ya Allah… Berikanlah untuk dek Imah kebaikan di dunia dan akhirat. Dan bila aku termasuk kebaikan untuknya… Berikanlah aku untuknya… Aamiin…” Beberapa kali pula (dalam doa-doa itu) ku dapati diriku sendiri melelehkan air mata karena tiba-tiba tersaput rindu. Dan aku hanya akan memohon, “Ya Allah… ku adukan hatiku padaMu… Jika rinduku benar, tangguhkan untuk lain waktu…” *** Bulan-bulan berlalu dan cintaku tak mendapat penguat (sebuah hubungan harus selalu diperbarui agar tak mati). Tak ada lagi surat dan Jojo sibuk mencari santri putri yang mau sama dia. Doa-doa yang biasa ku lantunkan setiap hari berkurang drastis hanya beberapa kali sebulan. Layaknya kehidupan nyata, masa lalu hanya tinggal kenangan, dan masa depan meminta begitu banyak perhatian. Ujian Akhir Pesantren datang, dan untuk beberapa saat aku lupa bahwa ada seorang gadis yang sudah ku beri janji bakal ku nikahi. Begitulah kawan, realita dalam dunia. Hanya orang bodoh yang gila karena cinta. Biarkan waktu melaksanakan tugasnya, maka setiap luka akan sembuh dengan sendirinya. 

 BAB LIMA BELAS
Setelah enam tahun hidup di dalam pesantren, pada usiaku yang ke delapan belas aku dinyatakan lulus dari sana. Meski dengan berbagai catatan buruk akibat kenakalan yang ku lakukan.
Kenakalan yang sebenarnya di masyarakat umum masih dianggap sangat ringan atau malah biasa-biasa saja. Seperti (yang paling sering) terlambat sholat berjamaah di masjid, terlambat mandi sore, keluar pesantren tanpa ijin, memakai baju norak dan lain sebagainya.
Dalam usia yang sudah tujuh belas tahun ke atas itu aku belum berteman dengan satu gadis pun. Tak punya pengalaman bagaimana cara memperlakukan mereka. Dan tak punya keinginan sedikitpun untuk berteman dengan mereka.
Aku pemuda yang steril dari virus pergaulan bebas. Salah satu pemuda yang diselamatkan oleh pesantren dari jurang hubungan amoral.
Dalam delapan belas tahun kehidupanku, hanya satu gadis yang pernah menghiasi mimpiku. Dan memang hanya di mimpi, bukan dalam realita. Dia bukan siapa-siapaku dan aku bukan siapa-siapanya. Tak ada hubungan khusus diantara kami, kecuali sebuah kenyataan bahwa aku sudah bersumpah untuk menikahinya suatu saat nanti.
Suatu saat yang aku tak tahu kapan. Bahkan setelah kelulusanku, aku cuma seorang pemuda yang tak punya kualifikasi apapun untuk menjadi suami siapapun. Aku hanyalah pengangguran tanpa bakat yang bahkan tak tahu arti bekerja keras.
Maka sumpahku hanya menjadi sekedar sumpah. Tanpa ada langkah kongkrit untuk mencapainya dalam waktu dekat. Apalagi Imah juga belum lulus dari pesantren. Masih ada satu tahun lagi guna menata diri.
Aku merasa tak perlu untuk tergesa-gesa tanpa menyadari kelemahanku sendiri. Aku tak menyadari kalau setahun kemudian aku belum akan menjadi apapun. Dan aku juga tak menyadari bahwa ada banyak pria-pria matang (secara kedewasaan dan finansial) siap mengambil bunga-bunga sholihah yang baru lulus pesantren untuk dijadikan istri.
Aku sama sekali tak menyadari bahwa akan ada seseorang yang akan melamar Imah begitu dia lulus. Seorang pria dewasa, bijaksana, tampan berpenghasilan mantap, dan siap serta serius berumah tangga, adalah godaan yang sulit ditampik gadis manapun.
Apalagi di dalam dada setiap gadis, selalu terselip ketakutan bakal menjadi bunga yang layu sebelum dipetik. Mereka biasa saling menasehati antar mereka sendiri, “Janganlah menolak lamaran pertama yang datang, ya kalau ada lagi yang mau melamar, kalau tidak? takutnya nanti jadi perawan tua.”

BAB ENAM BELAS 
Sehari setelah kelulusanku dari pesantren, Jojo mengajakku ke rumah seorang santri putri yang menjadi sasaran cintanya yang entah ke berapa kali. “Fiq, besok temani aku!”, Jojo menemuiku saat kami hendak pulang ke rumah masing-masing. “Kemana?”, wajahku sudah menggambarkan penolakan. Aku ingin santai dulu beberapa hari di rumah sebelum merencanakan jalan hidupku selanjutnya. “Ke rumah Vinda”, katanya cepat. “Siapa?”, aku sedikit tertarik. “Yayangku lah…!”, Jojo nyengir. “Cret!”, aku mengeluarkan bunyi protes sambil beranjak pergi. “Ayo tho, temani aku!”, dia mencegat. “Nggak! Cuma jadi obat nyamuk aku nanti. Ku teruskan langkah untuk beberapa saat. “Nanti kamu sama Imah deh!”, Jojo memberikan penawaran yang tak bisa ku tolak. Ku tatap Jojo untuk memahami bagaimana dia bisa membuatku bertemu Imah. Aku tahu saat itu sedang libur, tapi aku sendiri sama sekali tak kepikiran untuk melakukan itu. “Pokoknya kamu tahu beres. Besok kamu langsung ke rumah Imah saja!”, Jojo memberi tahuku arah ke rumah Imah yang ternyata sangat dekat dengan pesantren. Aku sering melihat rumah itu namun sama sekali tak ku sadari kalau itu rumahnya. Janji pun dibuat. Dan aku sama sekali tak punya pengendalian diri untuk tak menuruti nafsuku. *** Baru sehari saja aku lulus dari pesantren, sebuah ujian datang padaku. Dan aku gagal melewatinya. Lemahnya pengendalian diri menjadi penyebab semua yang terjadi. Dan tak ada lagi yang bisa melindungi kami dari godaan dunia. Kesempatan untuk bertemu orang yang kita cintai pastinya adalah sebuah kesempatan yang tak mungkin kita abaikan begitu saja. Namun syetan selalu mengintai dari berbagai sisi. Mencari-cari kesempatan agar nafsu yang menjadi bahan bakar cinta malah akan membakar cinta itu sendiri. Keesokan harinya, dengan berbekal iman yang begitu tipis, seorang pemuda yang diliputi nafsu, berangkat menuju rumah orang yang dicintainya. *** Seiring setiap langkahku ke rumah Imah, dadaku bergemuruh hebat. Berbagai bayangan tentang penolakan berkelebat dalam kepalaku. Membuat isi perutku naik hampir setinggi tenggorokan. Aku benar-benar tersiksa oleh kecemasan dengan semakin dekatnya aku pada akhir tujuanku. Rumah Imah mulai terlihat jelas begitu aku berbelok di tikungan terakhir. Ada seseorang duduk di beranda depan. Dalam jarak seratus meter, pandangan matanya menembus jantungku. Apa yang ku rasakan tujuh tahun lalu terjadi lagi. Aku jatuh cinta untuk kedua kali pada orang yang sama. Aku segera menyadari bahwa itu adalah pertemuan pertamaku dengannya sejak permainan kasti yang kami lakukan dulu. Aku heran kenapa cinta itu bisa bertahan sedemikian lamanya tanpa tersentuh satu pertemuan pun. *** Berjalan dengan dipandangi oleh Imah rasanya tak bisa dijelaskan oleh kata. Mungkin kamu akan mengangguk-angguk tanda mengerti karena pernah merasakan hal yang sama. Atau malah sama sekali tak punya gambaran karena seumur hidup belum mengenal cinta. Ku kerahkan segenap kemampuanku untuk tak tersandung kakiku sendiri. Ku kerahkan segala daya upayaku untuk tetap tampak keren. Ku gigit bibirku untuk menghilangkan gugup. Dalam jarak lima puluh langkah sudah ku bisikkan salam puluhan kali agar tak keseleo lidah ketika di depannya. Imah duduk diam dengan tenang. Dalam balutan jilbab putih dan gaun warna merah muda. Celana panjang hitam lebar melebihi mata kaki. Kepalanya tertunduk memandang lantai (padahal ku kira dia terus memandangiku berjalan). Ketika jarak tinggal dua meter dia menengadahkan wajahnya. Kami berpandangan dengan canggung. Tak tahu bagaimana harus bersikap dalam pertemuan pertama itu. Sebagai seorang gadis, bagaimana perasaanmu saat pertama kali bertemu dengan laki-laki yang bersumpah hendak melamarmu? Sebagai seorang laki-laki, bagaimana perasaanmu saat bertemu dengan gadis yang kamu janjikan bakal kamu nikahi? *** Aku pun melakukan hal paling bodoh yang mungkin bisa terjadi. Ku ulurkan tanganku mengajak Imah berjabat tangan. “Assalamu’alaikum”, kataku. Tak ada jawaban. Diikuti oleh wajah kaget. Aku tersadar tapi sudah terlambat. Meski cepat-cepat ku tarik lagi tanganku, malunya tetap saja tertinggal. Senyum Imah menolongku, “Duduk dulu.” Dia beranjak masuk rumah. “Iya!”, aku menjawab cepat. Imah keluar dengan segelas teh hangat. “Minum dulu”, katanya. “Iya!”, jawabku cepat. Imah berdiri seakan ragu, lalu tanpa kata dia kembali masuk ke dalam. Kecanggungan diantara kami belum hilang. Itu karena diantara kami ada janji untuk menjadi sepasang suami istri. Coba bayangkan! Dua anak manusia yang saling bertemu saja belum tapi sudah janjian bakal nikah. Efeknya pada pertemuan pertama ya seperti itu. *** Kedatangan Jojo seperempat jam kemudian menyelamatkanku dari menjadi arca di beranda rumah Imah. “Mah! Imah! Makan, laper nih! Tadi belum sarapan.” Tanpa tahu malu dia berteriak-teriak minta makan pada Imah. Imah keluar dengan sepiring besar nasi sayur oseng-oseng tempe. Jojo melahap dengan cepat diiringi pandangan ‘nganga’ku. Sedang Imah sepertinya sudah mafhum dengan kelakukan makhluk yang satu ini. Jojo makan sambil nyerocos. Bicara ‘ngalor-ngidul’ tentang berbagai hal. Aku dan Imah lebih banyak mendengarkan. Dengan dia diantara kami, suasana menjadi lebih cair. “Ayo berangkat!”, setelah kenyang Jojo mengkomando kami. “Ku tunggu di pemberhentian bus!”, dia langsung pergi (berlari) begitu saja. Yang menurutku adalah taktiknya agar aku dan Imah bisa berjalan berduaan. Namun tanpa dia, suasana kembali mencekam. Kami berjalan bersampingan dalam jarak yang lumayan jauh. Satu-satunya pertanyaan yang dia tanyakan adalah, “Kamu merokok nggak?”. Dan satu-satunya jawaban yang keluar dari mulutku adalah, “Nggak!”. Hanya itulah obrolan kami hingga sampai di pemberhentian bus. 

 BAB TUJUH BELAS 
Rumah Vinda ada di sebuah desa yang memakan waktu kira-kira setengah jam perjalanan dengan bus. Busnya sangat penuh meski Imah tetap bisa mendapatkan tempat duduk sedangkan aku merelakan diri berdiri di dekatnya. Di dalam bus entah kenapa keran mulutku bocor. Aku menjadi banyak bicara. Membual tentang apa saja yang bisa ku ceritakan pada Imah. Aku terus saja nyerocos sampai kami turun dari bus. Imah cuma memandangku sambil tersenyum meringis atas ulahku. Beberapa tahun kemudian, ketika mengingat saat-saat itu lagi, ku sadari aku memang melakukan banyak hal tolol. Mungkin karena aku begitu gugup, cemas, dan tak tahu bagaimana bersikap di depannya. Begitu sampai tujuan, kami segera turun. Ada sebuah warung kelontong dan sebuah pohon yang lumayan rindang. Aku menuju kesana dan duduk ngejogrok di bawahnya (asli aku tak tahu kenapa aku melakukan itu). Bahkan Jojo saja sampai heran dengan tingkahku. Imah sendiri tak kuat untuk tak berkomentar, “Seperti orang hilang saja.” Kami berjalan kaki ke rumah Vinda. Selama perjalanan ku tutupi kepalaku dengan syal yang ku pakai. Kali ini Imah tak kuat untuk berkomentar, “Antum kok kayak orang aneh.” Aku meringis malu mendengarnya tapi diam saja. Kami berhenti di sebuah masjid untuk sholat. Dan Jojo memutuskan pergi menjemput Vinda untuk diajak ke masjid juga. Ketika itu aku melihat Imah sedang memutar tasbih dengan sangat cepat. Aku berkata padanya, “Dzikir kok seperti itu?” “Ya memang seperti ini caranya”, dia menjawab dengan senyum. Lalu kami saling diam lagi. Tak beberapa lama Jojo datang bersama Vinda. Kami langsung sholat berjamaah. Setelah itu kami pergi ke rumah seorang teman yang dekat dari situ. Selama keberadaan kami disana, kecanggunganku pada Imah sedikit demi sedikit mencair. Obrolan pun mulai lancar. Imah jadi sering melempar senyum padaku (begitu juga aku). Sepertinya kami berdua sedang merasakan ketertarikan antara satu sama lain. Sebenarnya yang terjadi antara aku dan Imah adalah hal yang sangat canggung. Karena aku sama sekali datang bukan sebagai seorang teman atau seorang pacar. Aku datang dengan status calon suami (meski kalau dipikir saat itu, kemungkinannya hanya sepuluh persen). Aku juga memandangnya sebagai bakal istriku, meski aku tak tahu bagaimana aku bisa merealisasikan mimpiku itu dalam beberapa tahun mendatang. *** “Fiq, kamu pulang duluan sama Imah, aku masih punya urusan sama Vinda.” Jojo langsung ngeloyor pergi bersama Vinda tanpa bisa ku cegah. Aku dan Imah mau tak mau harus pulang berdua saja. Ku pandangi Imah yang juga memandangiku tanpa tahu apa yang terbersit di pikirannya. Hari sudah sore dan kami tidak ingin kemalaman di jalan. Kami langsung pergi ke tempat pemberhentian bus dengan berjalan kaki. Jaraknya cukup jauh dan jalan desa lumayan sepi. Suasana diantara kami sudah tidak seperti saat kami berangkat. Sudah lebih santai, dan pembicaraan mengalir dengan alami. “Aku selalu mendoakanmu setiap malam”, sebuah kalimat keluar dari mulutku tanpa bisa ku cegah lagi. “Apa iya?”, Imah menoleh. Kami berjalan bersampingan dalam jarak lumayan jauh. “Hu’um.” Aku mengiyakan. “Beneran?”, sepertinya Imah betul-betul ingin meyakinkan diri dengan kata-kataku. “Iya.”, aku meringis. “Setiap hari?”, Imah melancarkan serangan terakhir. Dan aku terpaksa jujur. “Ya nggak setiap hari sih, tapi sering.”, aku akhirnya mengakui. Dia memandangku dengan mata berbinar. Pupilnya melebar. Ku lihat jelas di matanya ada cinta yang sedang tumbuh. Dia tersenyum sangat manis, lalu tertunduk. Aku tersenyum penuh kemenangan. Aku yakin hatinya bisa ku taklukan. Tak ada lagi obrolan setelah itu. Kami tenggelam dalam pikiran masing-masing. Hingga kami tiba di rumah Imah, kami lebih banyak diam. Kata-kata hanya keluar seperlunya. Kami malah lebih banyak berpandangan. Lebih banyak tersenyum (seperti reuni orang gila). Cinta itu mulai menguat, dan nafsu tentu saja mengikuti. Perasaan ingin bersentuhan, ingin bergandengan tangan, sangat besar dan sulit ku kesampingkan. Tapi stok pengendalian diriku masih penuh. Tak akan ku turuti nafsuku untuk hal yang satu itu. Aku sadar pertemuanku dengan Imah tidak akan berlanjut di hari-hari berikutnya. Itu adalah pertemuan pertama dan terakhirku dengannya. Aku bertekad untuk tidak pacaran. Karakterku yang dibentuk orang tuaku sejak kecil melarangku melakukan itu. Pertemuanku dengan Imah adalah langkahku untuk meraba hatinya. Dan kini aku tahu dia juga punya rasa padaku. Maka waktu itu aku bertekad, sebelum habisnya malam itu, aku akan menyatakan sumpahku sekali lagi. Di hadapan imah. Di depan pandangan matanya. Di dengar oleh telinganya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar